Bulan Mei menjadi bulan yang sangat penting bagi negeri ini. Dua momen
besar sarat nilai historis dan heroisme diperingati; Hari Pendidikan
Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional. Kedua momen itu saling berkait
berkelindan, tidak bisa dipisahkan atau pun dipandang parsial.
Pendidikan menjadi sumber elan pital kebangkitan. Sedangkan kebangkitan
itu sebagai pembuktian bahwa pendidikan itu berhasil menciptakan manusia
berkarakter.
Harkitnas; Hari Sakit Nasional?
Peringatan
Harkitnas yang ke 104 tahun 2012 ini menjadi penting, jika nilai-nilai
kebangsaan, nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kejujuran,
dan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi ciri ke-Indonesia-an, yang
telah dipelopori oleh para pendahulu kita melalui gerakan “Boedi Oetomo”
dapat dijadikan suatu enerji bagi langkah-langkah bangsa kedepan.
Sekaligus menjadi renungan dan evaluasi, sejauhmana semangat
nasionalisme tersebut terimplementasi dalam setiap potensi, profesi,
tugas dan tanggung jawab perilaku masing-masing individu warganegara
Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menapaki
perjalanan sejarah kebangkitan nasional Indonesia, maka cara berfikir
nasionalis dalam membangun Indonesia baru di masa depan adalah bagaimana
mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Dalam hal ini, cara
berpikir nasionalis diharapkan menjadi antitesis dari cara berpikir
individual atau perorangan, antitesis dari cara berpikir kedaerahan,
antitesis dari cara berpikir kepartaian atau golongan, dan mutlak
antitesis dari cara berpikir kolonial.
“Karena itu, dalam
memaknai kebangkitan nasional dan wacana Indonesia ke depan yang lebih
baik, mandiri, sejahtera dan lebih bermartabat, diperlukan adanya
korelasi antara kesadaran sejarah, fakta sosial, dan semangat
nasionalisme ke-Indonesia-an kita ke depan. Nasionalisme ke-Indonesia-an
yang memiliki bangunan karakter kesejatian Indonesia”, demikian tegas
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D kepada civitas akademika
UGM dalam peringatan Harkitnas 2012 di kampus itu (Humas UGM,
21/5/2012).
Tapi, harapan Pak Rektor di atas hanya tinggal
harapan di atas langit nusantara. Realitas factual justeru menabalkan
bahwa bangasa ini sedang digerogoti penyakit akut lagi mematikan bernama
KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) atau yang senada dengannya bernama NKK
(nolongin kawan kroni). Penyakit itu sudah bersifat kolektif. Karenanya
bisa dikatakan bahwa Harkitnas itu kini tak lebih dari akronim dari
Hari Sakit Nasional.
Wakil Rakyat berlipstik harta tahta wanita,
menari ganjen menyanyi Hedonesia ria. Tentu beda antara Indonesia Raya
dengan Hendonesia ria. Bila Indonesia Raya kabarkan tentang ruang
bercahaya nasionalisme emas. Maka Hedonesia ria muncratkan perilaku
nasionalisme edan para wakil rakyat berwajah mewah, bermobil mewah, atas
bawah sumringah. Sementara rakyat terjerat lagu Indonesia Melarat,
"Benjing amenanging kala tida,wong duwur dadi umbul-umbul,wong cilik
tengal-tengul nyedoti umbel" (Skober, 2011).
Nasionalisme Digilas
Intervensi
negara-negara Barat dan Eropa terhadap kebijakan dalam negeri negara
lain yang berstandar ganda adalah suatu fakta, bahwa kepentingan yang
ada didalamnya ikut ambil dalam menentukan kebijakan luar negeri mereka.
Kemenangan kaum reformis dalam pergulatan meruntuhkan rezim orde baru
dengan lengsernya Presiden soeharto pada tahun 1998, tidak terlepas dari
pertempuran ekonomi global yang sedang memperebutkan pasar dan sumber
daya alam negeri ini (Ayu, 2011).
Lemahnya kekuasaan pemerintah
negeri ini terhadap kebijakan asing tidak terlepas dari perekonomian
negara yang sangat bergantung terhadap investasi asing. Banyaknya
raksasa-raksasa ekonomi yang menguasai perekonomian negeri ini
berpengaruh besar terhadap pertarungan politik yang ada di negeri ini.
Kepentingan-kepentingan pasar yang bermain dalam rangka menciptakan
boneka-boneka politik dalam struktur pemerintahan adalah salah satu
bentuk neoimperialisme modern yang sedang trend sekarang ini.
Pemegang
kartu atau kunci kekuasan politik dari siapa yang akan dipertahankan
dan siapa yang akan dilengserkan adalah logika kaum neoliberal ketika
kekuasaan pemerintahan suatu negara ada di tangan mereka.
Oleh
karena hal tersebut perlunya agen ganda yang mampu bermain sebagai
pejabat formil dengan merangkap sebagai agen pasar adalah keharusan dari
suatu pemerintahan.
Banyaknya permasalahan dari kepentingan publik
yang terlantar dan tak kunjung terselesaikan akan menjadi momok
menakutkan bagi siapa saja yang berdiri di struktur kekuasaan tanpa
didukung oleh kekuatan ekonomi global ini.
Walhasil terjadilah
kontrak politik antara pemimpin negeri yang mempunyai ambisi untuk
berkuasa dengan para pemilik modal. Ketika saat itu tiba, nasionalisme
tidak lagi mampu berdiri tegak. Budaya menjadi pelacur terhadap
nilai-nilai globalisasi dan idealisme menjadi barang yang murahan.
Mereka yang melawan akan disingkirkan dan disebut terbelakang atau tidak
beradab, yang bertahan dibuat sibuk saling menikam satu dengan yang
lainnya. Sementara mekanisme pasar dengan nyaman mengeruk habis isi
berharga dari tanah Republik dan kekayaan alam negeri ini.
Menagih Janji
Nasionalisme
Indonesia datang sebagai sebuah janji (Andri, 2011). Dikala rakyat
pribumi memilih nyaman berlindung di bawah payung feodalisme yang
berjalan beriringan dengan kolonialisme, nasionalisme datang membawa
harapan baru dengan logika bahwasanya setiap suku atau wilayah akan
menjadi kekuatan besar apabila bersatu. Nasionalisme menjadi jawaban
untuk mengusir penjajahan dari bumi nusantara.
Sebuah kisah
historis yang kaya dan patut dibanggakan, dalam tempo beberapa puluh
tahun saja, janji nasionalisme berhasil merubah arah bangsa. Negara
Indonesia berhasil dibentuk. Rakyat resmi bebas dari kolonialisme.
Kekuatan utamanya adalah spirit Bhineka Tunggal Ika, spirit yang
demokratis dan berhasil menggalang kekuatan bersama. Berbagai latar
budaya, kekuatan, ideologi, golongan, elit, melebur memperjuangkan
entitas nasional.
Begitu dipercayainya nasionalisme sebagai
sebuah janji pemersatu, membuat para founding fathers negara enggan
melahirkan Indonesia dalam sistem federal. Ditakutkan, sistem federal
kedepannya melanggengkan perpecahan. Sejarah telah mengingatkan bahwa
Indonesia dulunya pernah kacau karena politik pecah belah, Devide Et
Impera. Disepakati wujud Indonesia adalah negara kesatuan, sekalipun
kurang sejalan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan
dan terdiri atas ribuan suku.
Janji ini (nasionalisme) berjalan
dengan penuh pergolakan. Banyak pengorbanan, pertumpahan darah.
Keteguhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sempat tergoncang
saat Belanda melangsungkan agresinya dan dalam beberapa masa, sesuai
keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Indonesia berubah
menjadi federal. Benarlah, sistem federal yang mengkotak-kotakkan, tidak
sejalan dengan spirit nasionalisme yang masih berkobar sehingga
Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Dalam perjalanannya lagi,
nasionalisme sebagai janji terasa gagal setelah bertahun-tahun dijunjung
tak jua membawa kesejahteraan. Soekarno, sang pemimpin, terlalu acuh
terhadap kekuatan kapital sehingga rakyat tetap melarat, pembangunan
lambat.
Periode berikut, masa orde baru, pembangunan berjalan
pesat. Rasa nasionalisme diperkuat, bahkan dengan indoktrinasi via
berbagai kebijakan dan agitasi media. Hanya saja, indoktrinasi ternyata
bukan cara yang tepat untuk menguatkan nasionalisme. Nasionalisme adalah
sesuatu yang berangkat dari kesadaran, dari kerinduan untuk menyatu
dalam keragaman, kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kesatuan
sebagai kekuatan, bukan dengan indoktrinasi yang melahirkan nasionalisme
semu.
Yang terjadi, masyarakat sulit mengekspresikan hak politik
secara demokratis. Sekalipun nasionalisme berdengung di segala arah,
semangat nasionalisme meredup. Berganti orde, paradigma masyarakat tetap
sama. Sekalipun pintu demokrasi setelah 1998 terbuka lebar, jiwa
nasionalisme masih mengambang. Nasionalisme sebagai janji tetap gagal.
Masih
layakkah kita percaya dengan janji pemersatu itu? Disaat lajunya
acapkali tersendat-sendat? Jelas masih. Nasionalisme merupakan kekayaan
historis yang bernilai besar, sangat layak diperjuangkan. Indonesia
pernah punya pemikir-pemikir besar yang dengan keradikalannya
masing-masing mau melebur dalam wadah nasionalisme. Adalah tanggung
jawab setiap generasi memperjuangkan janji nasionalisme agar berhasil.